Sangat mengembirakan bahwa banyak pihak mendirikan taman bacaan guna menarik minat baca masyarakat. Ada yang berpendapat bahwa taman bacaan lebih menarik daripada perpustakaan karena “bayangan perpustakaan sebagai tempat yang ‘serius’, kotor, berdebu, dengan penjaga yang sudah tua dan berkacamata tebal”.
Suatu gambaran karikatur belaka. Jika istilah taman bacaan lebih menarik daripada istilah perpustakaan, maka hal itu tidak mejadi masalah. Apalah arti sebuah nama: “what is in a name”, kata Shakerpeare. Tetapi, jika ada yang mengusulkan bahwa “taman bacaan jadi prioritas diberi subsidi dan didorong menjadi kios buku”, maka hal itu perlu mendapat perhatian serius.
Taman bacaan tentunya mempunyai koleksi buku, jadi pada dasarnya sama dengan perpustakaan. Karena taman bacaan terbuka untuk umum, maka taman bacaan dapat disejajarkan dengan perpustakaan umum dalam bentuknya yang paling sederhana, hanya menyediakan buku untuk bisa digunakan oleh masyarakat umum. Jadi dari berita Kompas tadi yang diharapkan adalah “taman bacaan jadi prioritas diberi subsidi dan didorong menjadi perpustakaan (umum) yang lengkap”.
Taman bacaan jangan didorong menjadi kios buku, yaitu toko kecil tempat berjualan buku, Koran, dsb. (lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia). Buku di taman bacaan bebas untuk dibaca, sedang buku di kios untuk dijual. Begitu taman bacaan dijadikan kios buku,begitu masyarakat akan kehilangan tempat membaca buku tanpa dipungut bayaran. Jangan sampai terulang kejadian yang melanda 15.000 perpustakaan rakyat (baca: perpustakaan umum) yang pernah ada di Indonesia menurut laporan A.G.W Dunningham (konsultan Unesco) tahun 1954, tetapi kini hilang tak berbekas.
Minat baca yang tumbuh lewat taman bacaan jangan sampai hilang, harus dipertahankan dan dipelihara dengan menyediakan perpustakaan umum dengan koleksi buku yang lebih bervariasi, terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan bacaan untuk rekreasi, seperti biografi, buku pengetahuan umum, Koran, majalah, novel dan puisi.
Buku, Koran, dan majalah termasuk komoditi yang mahal di Indonesia.
Perpustakaan umum menjadi tempat yang ekonomis bagi para penggemar membaca yang ingin membaca/meminjam buku. Setiap kota/kabupaten selayaknya mempunyai perpustakaan umum yang tidak hanya mempunyai koleksi buku dan menjadi perpustakaan rujukan bagi masyarakat umum, tetapi juga menjadi pusat kebudayaan, lengkap dengan ruang pamer dan auditorium. Taman bacaan adalah ibarat perpustakaan dalam pertumbuhan .
Buku-buku yang akan dimasukan ke dalam koleksi taman bacaan seharusnya melalui proses pemilihan atau seleksi sesuai dengan lingkungan masyarakat yang akan dilayani. Kemudian Dana merupakan unsur yang sangat penting untuk menjamin aliran buku-buku baru ke taman bacaan. Ibarat organisme hidup, taman bacaan tumbuh dengan adanya aliran buku-buku tersebut. Subsidi yang akan diberikan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan Perpustakaan Nasional berarti bahwa taman bacaan diperlakukan seperti organisme hidup.
Taman bacaan boleh saja tidak terkesan rapi dari luar, tetapi administrasi internalnya harus rapi, bagaimanapun kecilnya koleksi buku taman bacaan itu. Dengan koleksi buku yang belum seberapa jumlahnya, penempatannya di taman bacaan mungkin asal-asalan saja, karena tidak ada masalah untuk mencari kembali buku yang pernah menjadi milik taman bacaan tersebut.
Buku-buku yang dikirim ke taman bacaan biasanya ada daftar bukunya sebagai pengantar yang harus disimpan dalam arsip. Jika buku-buku pada daftar tersebut diberi nomor urut dan penomoran itu dilanjutkan pada daftar (-daftar) buku berikutnya yang diterima bersama kiriman buku-buku baru, maka setiap buku ada nomornya masing-masing. Jika nomor urut tersebut dicantumkan pada bukunya, maka buku-buku dapat disusun nomor urut. Tata susun menurut nomor urut adalah yang paling sederhana, dan paling mudah dipahami. Setidak-tidaknya dengan adanya nomor urut dapat diketahui berapa jumlah koleksi buku taman bacaan yang bersangkutan.
Andaikan taman bacaan hanya sampai di situ penerapan administrasi dan organisasinya, memang beralasan untuk menyebutnya taman bacaan dan tidak perpustakaan. Hal ini disebabkan karena perpustakaan harus mempunyai suatu sistem atau metode simpan dan temu kembali . Dengan metode ini setiap buku dalam koleksi perpustakaan dicatat data bukunya, disimpan berdasarkan tata susun tertentu untuk dapat ditemukan kembali jika diperlukan. Catatan-catatan data buku disusun dalam daftar yang disebut catalog. Catatan data buku harus dilengkapi dengan petunjuk lokasi bukunya. Katalog dan tata susun koleksi berfungsi sebagai sarana temu kembali . Lewat katalog perpustakaan, pembaca dapat mengetahui buku-buku apa saja yang terdapat dalam koleksi perpustakaan dari pengarang tertentu, judul tertentu, atau subyek tertentu. Dengan demikian tidak akan ada buku yang luput dari jangkauan para pembaca. Katalog dan tata susun koleksi harus didasarkan pada suatu metode atau sistem yang mudah dipahami dan mudah digunakan untuk mencari buku dari koleksi perpustakaan. Dalam bahasa komputer istilahnya harus userfriendly sehingga hematlah waktu untuk pemakai, dan hematlah waktu staf perpustakaan.
Ini semua berkaitan dengan teknik perpustakaan. Karena itu yang mengerjakan haruslah orang-orang yang terlatih dalam teknik perpustakaan.
Banyaknya partisipasi masyarakat untuk menggalakan minat baca memang menggembirakan. Taman bacaan bisa dijadikan langkah awal dalam menumbuhkan minat baca. Tapi hal tersebut tidak bias berhenti sampai di situ saja. Perlu dipertimbangkan langkah selanjutnya, terlebih bila minat baca itu telah tercapai. Proses riset literatur dengan skala paling sederhana perlu pula diajarkan pada pengguna taman bacaan. Di sinilah transformasi taman bacaan menjadi perpustakaan mulai dilakukan. Untuk itu perlu dibentuk sebuah pilot project dari sebuah taman bacaan yang telah berhasil menumbuhkembangkan minat baca untuk diubah menjadi perpustakaan umum.